5:37 PM Wiro Sableng Chapter 1 (15-17) | |
Wiro Sableng Chapter 1 Part EChapter 1 Empat Berewok Dari Goa SanggrengLIMABELAS
Ketika tiga serangan itu datang ke arahnya, Wiro Sableng segera sambar pinggang Nilamsuri. Secepat kilat kemudian dia jatuhkan diri dan sambil berteriak hebat pemuda ini hantamkan tinju kanannya ke kaki seekor kuda lawan yang hampir menendang batok kepala Nilamsuri. Kuda itu meringkik keras dan rubuh karena kakinya itu hancur. Penunggangnya yaitu si mata jereng Pitala Kuning terlempar ke tanah tapi dengan andalkan ilmu mengentengi tubuh berhasil jatuh dengan kedua kaki menginjak tanah. Sementara golok panjang Bergola Wungu dan kelewang Seta Inging beradu keras di udara memercikkan bunga api maka sambil bergulingan di tanah, Wiro Sableng tak lupa hantamkan kaki kiri kanannya pada kaki-kaki kuda kedua manusia berewok itu. Seperti dengan kuda Pitala Kuning tadi maka kedua binatang inipun melemparkan Bergola Wungu dan Seta Inging. Wiro Sableng menyandarkan Nilamsuri pada sebatang pohon dan cepat bersiap-siap ketika dilihatnya tiga manusia berewok itu mendatanginya. Akan Ketut Ireng tak masuk hitungan karena saat itu dia duduk menjelepok di tanah merintih karena kaki kanannya yang hitam gembung dan sakitnya bukan main! "Aku peringatkan pada kalian untuk penghabisan kali!" kata Wiro Sableng, "Tinggalkan tempat ini!" "Jangan omong besar bangsat ingusan!" bentak Bergola Wungu dengan sangat geram. "Sebut kau punya nama agar golokku ini tidak penasaran menebas batang lehermu!" Wiro Sableng mengeluarkan suara bersiul lalu garuk-garuk kepala dan tertawa gelak-gelak. Kemudian menyanyilah murid Eyang Sinto Gendng ini. Anak kecil bodoh namanya biang bodoh, Marahlah Bergola Wungu mendengar tembang yang kata-katanya ditujukan kepadanya sebagai ejekan itu. "Bocah gila!" bentaknya, " terima ujung golokku ini!" Dengan pergunakan jurus "burung bangau mematuk kodok," Bergola Wungu tusukkan golok panjangnya ke arah tenggorokan Wiro Sableng. Pendekar Gunung Gede ini segera meringankan badan. Ujung golok hanya lewat setengah jengkal disamping lehernya. Wiro tertawa mengejek. Panas pemimpin Empat Berewok dari Gua Sanggreng ini tidak terkirakan. Baru hari ini ilmu golok yang sangat dibanggakannya itu dikelit dengan demikian mudah bahkan sambil tertawa mengejek dan menantang! Dengan kertakkan rahang Bergola Wungu balikkan mata pedang dan babatkan senjata itu. Kali ini maksudnya untuk menebas batang leher si pemuda. Kedua kaki Wiro Sableng bergerak sedikit, tangan kirinya menepis lengan yang memegang golok sedang telapak tangan kanan dihantamkan ke dada Bergola Wungu! Kepala rampok Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu mengeluarkan jerit tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang hampir jatuh duduk di tanah. Ketika dia memandang ke dadanya yang dihantam telapak tangan lawan, parasnya dengan serta merta menjadi pucat! Baju hitamnya robek hangus. Pada kulit dada yang tadi kena dihantam terlukis memutih telapak tangan dan jari-jari tangan Wiro Sableng! Pada tengah-tengah lukisan itu tertera angka hitam 212. Dan sakitnya dada yang bertanda telapak tangan kanan berikut angka 212 itu bukan olah-olah. Meski Bergola Wungu sudah alirkan seluruh tenaga dalamnya, rasa sakit itu hanya sedikit saja berhasil dikuranginya! Pitala Kuning dan Seta Inging tidak kurang pula pucat tampang-tampang mereka melihat apa yang terjadi dengan pemimpin mereka. Tidak dinyana pemuda belia Pukulan "telapak 212" yang dilancarkan oleh Wiro Sableng tadi itu hanya mempergunakan seperlima bagian saja dari tenaga dalamnya! Kalau saja pendekar muda ini pergunakan setengah saja bagian dari seluruh tenaga dalamnya maka pastilah Bergola Wungu akan meregang nyawa dengan dada remuk! Luapan amarah Bergola Wungu membuat pemimpin rampok yang malang melintang di sungai Cimandilu ini lupakan kenyataan bahwa pemuda yang dicapnya sebagai "pemuda gila", "bocah ingusan" itu sesungguhnya bukanlah tandingannya! Bergola Wungu majukan kaki kanan dan surutkan kaki kiri. Golok panjang dipegang lurus ke muka. "Bocah sedeng! Kau telah bikin cacad dadaku! Aku Bergola Wungu akan berbaik hati untuk membalasnya! Kau tahu jurus apa yang bakal aku lancarakan ini?!"
"Lucu!" kata Wiro Sableng pula. "Bertempur ya bertempur. Kenapa musti pakai pidato segala!" Bergola Wungu merasa tubuhnya seperti terbakar oleh kobaran amarahnya yang menggelegak. "Kau boleh tertawa dan mengejek sepuas hatimu bocah gila! Bila golokku berkiblat dalam jurus: merobek langit, kau akan tahu rasa nanti!" Adapun jurus ilmu golok yang disebut "merobek langit" itu adalah jurus yang telah dipergunakan oleh Bergola Wungu untuk "menelanjangi" tubuh Nilamsuri yaitu "Jurus merobek langit memang hebat kedengarannya!" kata Wiro Sableng. "Tapi coba buktikan. Jangan-jangan cuma jurus kosong belaka!" Tanpa banyak bicara Bergola Wungu segera putar goloknya dengan sebat. Angin menderu dahsyat keluar dari sambaran golok. Demikian hebatnya seakan-akan golok itu berubah menjadi ratusan banyaknya! Dalam sekejapan mata saja tubuh Wiro Sableng sudah terbungkus gulungan golok! Yang anehnya, diserang hebat demikian rupa tidak serambutpun Wiro Sableng bergerak. Dan lebih aneh lagi adalah karena golok Bergola Wungu sama sekali tidak dapat mendekati bagian tubuh manapun dari Wiro Sableng! Manusia berewok ini mencak-mencak sendirian macam monyet terbakar ekor! Seta Inging dan Pitala Kuning yang saksikan kejadian itu mau tak mau jadi leletkan lidah! Demikianlah hebatnya ilmu "benteng topan melanda samudra" yang dikeluarkan Wiro Sableng sehingga setiap sambaran tusukan dan sabetan golok sama sekali tidak dapat mengenai tubuh Wiro Sableng. Tubuh golok dilanda terus-terusan oleh gulungan angin dahsyat yang membungkus tubuh murid Sinto Gendeng itu! Bergola Wungu membentak keras dan percepat permainan goloknya. Tapi sampai dua puluh jurus dimuka tetap saja goloknya tak dapat membentur sasarannya di tubuh Wiro! "Seta Inging! Pitala Kuning! Jangan jadi patung! Bantu aku!" teriak Bergola Wungu dengan sangat beringas. Mendengar perintah ini Pitala Kuning dan Seta Wiro Sableng tertawa bergelak. Tawa gelak yang disertai tenaga dalam ini menambah hebat perbawa ilmu "benteng topan melanda samudera!" Sepuluh jurus berlalu. "Ciaatt!!" tiba tiba pendekar kapak maut Naga Geni membentak keras. Tiga manusia berewok keluarkan seruan tertahan dan lompat dari kalangan pertempuran. Nama Empat Berewok dari Goa Sanggreng bukan nama baru dalam dunia persilatan pada masa itu mereka terkenal sebagai komplotan rampok yang berilmu tinggi dan ditakuti di sepanjang sungai Cimandilu. Terutama pemimpin mereka Bergola Wungu diakui kehebatan permainan goloknya oleh kalangan persilatan! Mereka tahu, kalau pemuda itu inginkan nyawa mau mencelakakan mereka maka sudah sejak tadi hal itu bisa dilakukannya! "Kalau hari ini kami diberi sedikit pelajaran," kata Bergola Wungu dengan suara bergetar, "maka ketahuilah bahwa kami tak akan melupakan kejadian ini. Suatu Wiro Sableng tertawa bergelak, "Bagus, bagus! Kau masih bisa pidato huh!! Ini terima kembali senjata kalian!" Sekali tangan kanan Wiro Sableng bergerak maka ketiga senjata lawan yang tadi dirampasnya kini melesat ke arah ketiga orang itu masing-masing pada pemiliknya, Bergola Wungu menangkap hulu golok, Seta Inging menangkap gagang kelewang sedang Pitala Kuning menyambuti tangkai ruyung berdurinya. Tanpa banyak bicara ketiga orang itu dengan membawa kawan mereka yang menderita sakit pada kakinya, segera hendak angkat kaki. Tapi sebelum mereka berlalu Wiro Sableng berkata: "Satu hal kalian harus ingat baik-baik manusia-manusia berewok. Jika kalian berani lagi ganggu ini gadis, berarti kalian ingin cepat-cepat masuk liang kubur!" ENAMBELAS
"Apa yang terjadi?" bertanya gadis itu. Wiro tertawa. "Tak satupun," jawabnya. "Aku tak percaya. Tadi kudengar suara derap kaki kuda menuju ke sinia." "Ah, kau ini ada-ada saja. Aku tak dengar suara apa-apaa." Nilamsuri berpikir-pikir dan mengingat-ingat. Parasnya mendadak berubah. Matanya memandang lekat-lekat pada Wiro Sableng. "Tadia. kau melompatiku dana," gadis ini raba urat besar di pangkal lehernya. "Yaa. kau menotok urat besar di leherku ini?" Habis berkata demikian Nilamsuri segera cabut pedang! "Apa yang kau telah perbuat terhadap diriku?" tanyanya membentak. Murid Sinto Gendeng memaki dalam hati, "Sialan! Sudah ditolong malah menuduh yang bukan-bukan!" Tapi di hadapan si gadis itu pemuda itu masih sunggingkan senyum. "Kuharap kau jangan punya pikiran yang tidak-tidak terhadapku saudaria." "Lalu perlu apa kau menotok aku?!" Wiro garuk-garuk kepalanya. Dia tak ingin Nilamsuri tahu siapa dia sebenarnya. Karena itu dia menjawab dusta. "Kau ingat bagaimana kau begitu kalap untuk "Ya, lalu?!" "Dengar saudari, aku hanya paham sedikti ilmu totokan. Karena aku tahu kau tak bakal sanggup menghadapi mereka, aku lantas totok kau punya urat besar lalu "Aku tak percayaa.!" kata Nilamsuri. "Aku memang tidak suruh kau percaya untuk mempercayainya," menyahuti Wiro Sableng. "Kai ini siapa sebenarnya?!" "Heha," Wiro Sableng hela nafas panjang. "Bukankah aku sudah kasih tahu nama? Malah kau sendiri masih rahasiakan kau punya nama!" Nilamsuri dalam kesalnya tambah tak percaya. Terlintas dalam pikirannya untuk menjajal si pemuda. "Baik," katanya, "jika kau tidak mau kasih keterangan, biar pedangku ini yang memintanya!" Habis berkata demikian maka gadis ini segera kirimkan satu tusukan hebat ke dada Wiro Sableng! Wiro terkejut dan gerabak gerubuk lompat kesamping. "Saudari! Apa-apaan ini? Kenapa kau serang aku?!" Sebagai jawaban Nilamsuri kirimkan serangan berantai. Pedangnya menderu kian kemari membuat Wiro tak bisa ayal lagi dan terpaksa berlompatan dengan cepat. Pedang di tangan Nilamsuri menderu dari samping kiri ke bahu Wiro. Ketika pemuda ini berkelit, ujung pedang dengan sangat tiba-tiba menusuk ke rusuk laksana patukan burung elang! Wiro lambaikan tangan kiri, angin keras membentur badan pedang, menyimpangkan senjata itu dari sasarannya! "Saudari!" seru Wiro Sableng, "sayang aku ada urusan lain. Sampai jumpa lagi!" Habis berkata demikian pemuda ini melompat ke muka, mencuil dagu si gadis "Pemuda kurang ajar!" maki Nilamsuri. Disabetkannya pedangnya dengan sekuat tenaga. Tapi Wiro Sableng sudah lenyap dari hadapannya. Hanya suara tertawanya yang masih sempat terdengar di kejauhan. Gadis itu berdiri termangu. Parasnya yang cantik kelihatan kemerahan. Pemuda itu benar-benar ceriwis sekali! Tapi kini dia sudah tahu bahwa pemuda itu sama sekali bukan bodoh dan berotak miring. Sama sekali tidak buta dalam ilmu silat! Tadi dia telah menyerang dengan jurus-jurus ilmu pedangnya yang lihay dan si pemuda berhasil mengelakkan bahkan memukul badan pedang dengan pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin keras! Meski hatinya marah sekali dengan keceriwisan pemuda itu tapi rasa senang dan kagumnya tak dapat disembunyikannya. Sekelumit senyum memberkas di bibirnya ketika dia mengusap dagunya yang tadi dicuil oleh Wiro Sableng. ***** "Orang muda," katanya, "sebaiknya kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini!" "Memang kenapa?" tanyanya. "Sebentar lagi mungkin empat manusia berewok itu akan kembali ke sinia." "Siapa takutkan mereka!" ujar Wiro. "Tapi anak muda, kau mungkin belum tahu siapa mereka itu." "Perduli amat siapa mereka," kata Wiro pula sambil duduk di kursi. Dan pemilik kedai itu berkata lagi, "Mereka adalah rampok-rampok yang ditakuti di sungai "Biar mereka adalah Empat Setan dari Neraka, aku tetap tak perduli!" Pemilik kedai jadi terdiam. Siang tadi dia memang telah menyaksikan bagaimana pemuda itu menyumpal mulut Empat Berewok dari Goa Sanggreng dengan pisang. Wiro usap-usap dagunya yang licin. Ini mengingatkannya pada dagu Nilamsuri yang dicuilnya dan pemuda ini senyum-senyum sendiri. Si orang tua diam-diam mulai "Bapak sudah lama tinggal di sini?" tanya Wiro. "Sejak masih oroka." "Hema. kalau begitu tentu kenal dengna nama Ranawelenga." "Oh tentu... tentu sekali. Beliau adalah Kepala Kampung yang baik. Cuma sayanga." "Sayang kenapaa.?" Orang tua itu tak segera menjawab. Dia memandang keluar kedai seperti mau menembusi kegelapan malam, seperti tengah mengenangkan sesuatu. "Beliau sudah Wiro Sableng menelan ludahnya. "Bapak tahu siapa yang membunuhnyaa.?" Pertanyaan ini membuat si orang tua memandang lekat-lekat pada paras Wiro Sableng. "Semua orang tahua.," katanya. Kemudian dituturkannya peristiwa kematian Ranaweleng dan Suci Bantari sekitar tujuh belas tahun yang lewat. Kisah ini sudah didengar sejelasnya oleh Wiro Sableng dari gurunya Eyang Sinto Gendeng. "Ada satu keanehan dalam peristiwa tujuh belas tahun yang lalu itu," kata si pemilik kedai. "Keanehan bagaimana?" tanya Wiro ingin tahu. "Waktu itu Mahesa Birawa dan anak-anak buahnya membakar rumah mendiang Ranaweleng. Dalam kobaran api yang tiada terkirakan besarnya terdengar suara tangisan orok! Itu adalah oroknya Ranaweleng sendiri! Orang banyak sangat kebingungan. Bagaimana mungkin menyelamatkan bayi dalam kobaran api itu? Pada saat yang sangat tegang itu semua orang melihat berkelebatnya bayangan hitam. Sangat cepat sekali bayangan hitam itu menyerbu ke dalam kobaran api lalu lenyap. Dan suara tangisan oroknya Ranaweleng juga hilang! Sewaktu api padam semua orang mencari. Tapi tak ditemui tulang belulang orok itua." Wiro Sableng termanggu-manggu. Dia tahu betul, orok yang diceritakan orang tua itu adalah dirinya sendiri dan berkelebatnya bayangan hitam adalah kelebat "Sampai sekarang tidak pernah diketahui dimana anak Ranaweleng itu?" bertanya Wiro "Mahesa Birawa sendiria. apakah masih hidup?" "Masiha. sampai dua tahun belakangan ini dia masih tinggal di sini. Tapi sekarang entah dimana. Tapi ada atau tidaknya dia di sini, sama saja. Empat orang anak buahnya sama saja jahat dan kejamnya dan keempatnya malang melintang di kampung ini. Kalau makan tak pernah bayar!" "Apakah mereka itu Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu?" tanya Wiro. "Bukana. bukan! Justru Empat Berewok dari Goa Sanggreng ini sengaja datang dari jauh bikin perhitungan dengan anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini! Wiro mengulurkan tangannya memotes sebuah pisang yang tergantung "Eeea. apakah kau punya uang untuk membayar pisang itu, anak muda?" tanya si pemilik kedai. Wiro tertawa, "Hutang dulu toh tak apa-apaa." sahutnya. Si orang tua mengeluh dalam hati. Berarti tambah satu lagi "langganan"nya yang makan tanpa bayar! Sambil mengunyah pisangnya Wiro Sableng bertanya, "Urusan apakah yang dibawa oleh Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu ke sini?" Si orang tua memandang lagi ke luar kedai. Lalu katanya, "Perlu kau ketahuia. pemimpin Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu, yang kini memakai nama Bergola Wungu, dulunya adalah penduduk kampung Jatiwalu ini! Anak-anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini kemudian membunuh ayahnya, juga ibunya, merusak kehormatan perempuan itu serta saudara-saudara perempuannya. Bergola Wungu sempat melarikan diri. Ketika dia kembali ke sini ternyata dia sudah jadi seorang yang tak kalah jahatnya dengan anak-anak buah Mahesa Birawa!" Lama Wiro Sableng terdiam. Tiba-tiba dia ingat satu nama yang diucapkan Nilamsuri. "Kenal dengan seorang yang bernama Kalingundil?" Kulit kening pemilik kedai itu mengkerut. "Adalah lucu kalau pertanyaan itu kau ajukan saat ini, anak muda?" katanya. "Kenapaa.?" "Karena Kalingundil adalah anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini dan yang bertindak sebagai pemimpin dari tiga kawan-kawan lainnya!" Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar keterangan ini. Tapi rasa terkejutnya disembunyikannya. Dan dia berpikir-pikir, mengapa gadis itu di pekuburan Wiro meletakkan kulit pisang di tepi meja. "Siang tadi, Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu telah mengeroyok seorang gadis belia berparas cantik. Bahkan "Gadis itu berpakaian birua.?" "Betul." Si orang tua hela nafas. "Sebenarnya sudah berkali-kali Bergola Wungu tanya padaku apakah ada seorang lain yang tinggal di rumah Kalingundil. Aku jawab Kini jelaslah bagi Wiro Sableng mengapa demikian besar tekat Bergola Wungu untuk membunuh si gadis baju biru itu. "Kalingundil yang bikin kejahatan, anaknya Wiro manggutkan kepala. "Dendam kesumat laksana besi tua seribu karat kadang kala tidak mengenal pembalasan yang wajara.", katanya. "Kadang kadang itu adalah merupakan hukum karma bagi seseorang yang pernah melakukan perbuatan terkutuk!" "Kata-katamu beul, anak mudaa.", kata orang tua itu pula. Lalu diangsurkannya mukanya dekat-dekat ke muka Wiro Sableng. "Waktu Bergola Wungu tahu bahwa kau telah mendustainya, habis mukaku ini ditempelaknyaa.!" "Itu salahmu sendiri," kata Wiro seenaknya. "Siapa suruh kau yang tua bangka masih mau berdusta!" Orang tua itu jadi menggerendeng dan memaki panjang pendek dalam hatinya. Dan dia memaki lagi untuk kedua kalinya ketika didengarnya Wiro berkata, "Minta tehnya, pak." Sementara si orang tua membuatkan segelas teh manis untuknya, Wiro Sableng tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak diduganya kalau gadis berbaju biru Ketika si orang tua datang membawakan teh bertanyalah Wiro Sableng, "Bapak tahu nama anak perempuan Kalingundil itu?" "Nilamsuri. Nama bagus, orangnya juga cantik, tapi sayang bapaknya manusia terkutuk!" "Sewaktu Mahesa Birawa melakukan pembunuhan atas diri Ranaweleng, apakah Kalingundil juga ikut-ikutan?" tanya Wiro lagi. "Bukan hanya Kalingundil, tapi semua anak buahnya," menyahuti si orang tua. Wiro hendak bertanya lagi tapi mulutnya terkatup kembali karena di luar terdengar suara gemuruh derap kaki kuda. Empat penunggang kuda lewat di muka kedai dengan cepat. Mereka bukanlah Empat Berewok dari Goa Sanggreng. Dan ketika Wiro Sableng berpaling pada orang tua pemilik kedai, orang tua ini tarik nafas panjang dan berkata, "Kalingundil dan anak-anak buahnyaa. pasti akan segera terjadi bentrokan dengan Bergola Wungua." "Menurutmua. siapa yang bakal menang di antara mereka?" tanya Wiro. Orang tua itu angkat bahu. "Aku tidak mengharapkan siapapun di antara mereka akan menang! Wiro Sableng tertawa. Diteguknya teh manis dalam gelas kaca itu. Lalu dia berdiri. "Meski hari ini aku tidak bayar harga pisang dan teh manis itu, tapi Si orang tua mengangkat gelas bekas minuman pemuda itu. Tapi sesuatu menarik perhatian matanya yang sudah agak mengabur itu. Pada kaca gelas dilihatnya sederetan angka. Diperhatikannya lebih dekat. Tidak salah, itu memang deretan angka 212. Tak habis mengerti orang tua ini bagaimana angka ini bisa tertera di sana. Disekanya dengan ujung pakaiannya. Disekanya lagia. lagia. Tapi angka 212 itu tetap saja tidak mau pupus! "Aha. semakin tua umur dunia ini semakin banyak terjadi keanehana." Katanya dalam hati.
TUJUHBELAS
Di ujung halaman sebelah kiri berdiri pula Bergola Wungu. Sebagaimana dua orang yang terdahulu sepasang matanya memandang ke tengah halaman, memperhatikan jalannya pertempuran. Tiga orang anak buah Kalingundil yaitu Saksoko, Majineng dan Krocoweti sebenarnya bukan orang-orang yang berilmu rendah. Permainan golok mereka cukup lihay. Tapi menghadapi anak-anak buah Bergola Wungu yaitu Ketut Ireng, Seta Inging, dan Pitala Kuning merak kalah gesit. Dalam sembilan jurus Krocoweti terpaksa pasrahkan nyawa dilanda ruyung berduri Pitala Kuning! Krocoweti menggeletak di tanah dengan dada melesak! Tiga jurus kemudian menyusul Majineng. Lehernya hampir kutung terbabat kelewang Seta Inging. Pertempuran yang agak lama berlangsung ialah antara Ketut Ireng dan Saksoko. Kedua orang ini mempunyai tingkat kepandaian yang sama dan sama-sama bersenjatakan golok. Namun oleh kemenangan kedua kawannya Ketut Ireng mendapat semangat dan nyali besar. Lima jurus di muka sambaran goloknya tiada tertahankan. Akhirnya Saksoko yang berbadan gemuk pendek itu menjerit mengerikan ketika perutnya yang buncit terbabat ujung golok! Ususnya membusai dan menjela-jela di tanah! Rahang-rahang Kalingundil kelihatan mengatup rapat dan bertonjolan. Kedua kakinya terpentang. Saat itu karena gelap tak seorangpun yang melihat bagaimana kedua lengan Kalingundil menjadi hitam samapi ke jari-jari tangannya. Didahului dengan suara bentakan yang bukan saja dahsyatnya menggetarkan dada tapi juga menggetarkan tanah maka melompatlah Kalingundil ke tengah halaman di mana tiga anak buah Bergola Wungu berada. Tujuh belas tahun yang lampau kehebatan pukulan lengan baja itu sudah mengagumkan. Dan kini dapat dibayangkan bagaimana keampuhannya! Tiga pekik kematian merobek kegelapan malam! Ketut Ireng, Seta Inging dan Pitala Kuning terlempar sampai lima-enam tombak dan menggeletak di tanah tanpa nyawa! Bergola Wungu saksikan kematian yang mengenaskan ketiga muridnya itu dengan tubuh bergetar. "Bergola Wungu! Kau tunggu apa lagi! Majulah jika kau benar-benar ingin membalaskan dendam kesumat seribu karat!" Meski bagaimana kobaran amarahnya namun Bergola Wungu menyahuti, "Jangan bicara terlalu keren, keparat! Aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau bernafas beberapa jam lagi! Aku Bergola Wungu menunggu kau besok pagi waktu matahari terbit di pekuburan Jatiwalu! Aku ingin nyawamu terbang ke neraka disaksikan makam ayah bundaku!" Habis berkata demikian, Bergola Wungu putar tubuh. Tapi saat itu Kalingundil sudah menyerbunya dengan kedua tangan terpentang! Bergola Wungu yang tahu kehebatan lengan baja itu tak berani menyambuti. Dia berkelit ke samping dan lambaikan tangan kanannya. Serangkum angin menyambar ke dada Kalingundil. Kalingundil melompat ke samping dan hantamkan lengannya kembali. Tapi ini juga dapat dielakkan Bergola Wungu. Dalam sebentar saja kedua orang ini sudah terlibat dalam tiga jurus. Memasuki jurus keempat tiba-tiba dari bagian yang gelap di bawah pohon mempelam terdengar suara memaki. "Jangan memaki saja kunyuk! Keluarlah unjukkan diri!" Angin dahsyat melanda ke tempat gelap, menghantam pohon mempelam sampai pohon itu tumbang. Tapi orang yang memaki sudah kabur. Dan ketika menoleh ke samping, Bergola Wungu pun sudah lenyap! Akan Nilamsuri begitu mengenali suara yang memaki tadi tanpa tunggu lebih lama dia segara mengejar ke tempat gelap. Beberapa puluh meter kemudian, di pinggiran kampong dekat pematang sawah, orang yang dikejar tahu kalau dirinya dikuntit. Dengan pergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sampai ke puncak yang sangat tinggi dia melompat ke satu cabang pohon dan menunggu. Nyatanya yang mengejar adalah si gadis baju biru itu. Segera dia lompat turun kembali. "Kita berjumpa lagi, Nilamsuria." "Eh, dari mana kau tahu namaku?" gadis itu tanya dengan heran. Wiro Sableng tertawa dan menjawab, "Terlalu banyak manusia tempat bertanya. Terlalu banyak mulut yang bisa kasih keterangan! Ada apa kau mengejar aku?!"
"Ayahmu Kalingundil, bukana.?" desisnya. Gadis itu mengangguk. Wiro menyeringai. Dipegangnya bahu gadis itu. Nilamsuri hendak menyibakkan tangan itu tapi tak jadi karena saat itu Wiro membungkukkan kepalanya. Rasa panas menjalari darah ditubuhnya ketika bibir pemuda itu berani mengecup bibirnya. Kemudian tangan yang lain dari si pemuda mengusap mukanya. Dia diam saja. Juga masih diam ketika tangan itu meluncur turun ke bawah lehernya. "Wiroa. kau ini ceriwis sekalia. ceriwis sekali," bisik gadis itu setengah merintih. Pemuda itu menyeringai. "Kenapa kau ikuti akua.?" "Aa. aku suka padamu Wiroa." Wiro tak banyak tanya lagi. Dipanggulnya tubuh yang montok itu lembut itu dan dilarikannya ke tengah sawah dimana terdapat sebuah dangau. Angin malam terasa sangat dingin di udara yang terbuka itu. Tapi tubuh mereka dilanda keringat panas dalam melakukan apa yang belum pernah mereka alami sebelumnya, dalam merasakan apa yang mereka tak pernah rasakan sebelumnya! ***** Sinar matahari pagi memerak kekuningan. Udara segar sekali. Namun kesegaran itu tiada dirasakan oleh tiga manuisa yang berada di pekuburan Jatiwalu. Yang dua adalah Bergola Wungu dan musuh besarnya Kalingundil. Yang ketiga Nilamsuri. Paras gadis ini agak pucat. Bergola Wungu hentikan langkahnya beberapa tombak di hadapan Kalingundil. "Keluarkan senjatamua Kalingundil!" Kalingundil tertawa bergelak dan meludah ke tanah. "Untuk menghadapi manusia macam kau tak perlu pakai senjata segala! Mulailah!." Mulut Kalingundil komat-kamit dan sebentar kemudian kelihatanlah kedua lengannya menjadi hitam! Tergetar juga hati BergolaWungu melihat dua lengan lawan itu. Tapi tentu saja tak diperlihatkannya. Malahan dia berkata, "Bagus kalau tak mau pakai senjata. Bergola Wungu mencabut golok panjangnya. Dengan ujung senjata itu dia menunjuk ke arah dua buah makam di bukit pekuburan. "Kau lihat dua makam di lereng sana, Kalingundil?!" Kalingundil tak berani mengalihkan pandangannya karena khawatir ini hanya tipuan belaka. "Itu adalah makam ayah bundaku. Roh-roh penghuni makam itu akan bersorak gembira bila menyaksikan sesaat lagi kepalamu kubabat menggelinding!" "Tak perlu jual bacot manusia hina! Terima lenganku!" Disertai angin yang dahsyat maka kedua lengan Kalaingundil memukul susul menyusul. Bergola Wungu kiblatkan golok memapas salah satu lengan lawan! Betapa terkejutnya dia ketika goloknya tidak mempan membabat lengan lawan malahan mata goloknya menjadi sumplung! Dengan segera Bergola Wungu keluarkan jurus terhebat dari ilmu goloknya yaitu jurus "merobek langit." Sesaat saja terbungkuslah tubuh Kalingundil oleh sinar golok! Dan satu jurus dimuka Kalingundil terdesak hebat. Berkali-kali dia hantamkan lengannya ke arah lawan namun Bergola Wungu berkelit sangat cepat. Dengan penasaran Kalingundil coba menyampoki senjata lawan dengan kedua lengannya. Tapi Bergola Wungu tidak bodoh. Mana dia mau adu senjata dengan lengan yang kerasnya macam baja itu! "Ha... ha... lekaslah minta tobat pada Tuhan atas kesalahan-kesalahanmu, Kalingundil! Sebentar lagi kepalamu akan menggelinding!" ejek Bergola Wungu. Geram Kalingundil bukan alang kepalang. "Kita akan lihat siapa yang bakal meregang nyawa lebih dahulu kunyuk berewok!", balasnya mengejek. Kalingundil berseru keras, "Terima senjata rahasiaku ini, kunyuk!" Ratusan jarum hitam kemudian menggebubu menyerang Bergola Wungu tapi dengan satu kali putaran golok saja senjata rahasia itu gugur semua ke tanah! "Hebat! Hebata. hebat!" terdengar suara dari jurusan barat. Orang yang bicara itu jauhnya masih sekitar seratus tombak. Namun begitu suaranya berakhir serentak itu pula dia sudah berada di tempat pertempuran itu! Dapat dibayangkan hebatnya ilmu lari orang itu. "Hebat memang hebat, Bergola Wungu! Tapi mungkin kau tidak tahu bahwa manusia itu adalah bagianku!" Baik Bergola Wungu maupun Kalingundil sama lompatkan diri dari kalangan pertempuran. Bagi Kalingundil ini adalah satu keuntungan karena saat itu dirinya "Kalingundil! Kau tak perlu pandang aku dengan kerut jidat segala! Dimana manusia bernama Mahesa Birawa?!" "Orang muda bermulut besar, kau siapa?!" bentak Kalingundil. "Ditanya malah menanya! Sialan betul!", gerendeng Wiro Sableng. "Tujuh belas tahun yang silam kau bersama Mahesa Birawa telah membunuh Ranaweleng, bapakku! Kalingundil merutuk dalam hati. Apakah manusia ini juga hendak membalaskan dendam kesumatnya seperti Bergola Wungu? Melihat kepada tenaga dalam yang menyertai suaranya tadi Kalingundil sudah dapat mengukur kehebatan manusia ini. Hatinya mengeluh! Melayani Bergola Wungu saja dia sudah kepepet, apalagi menghadapi dua lawan sekaligus! "Apa maumu orang muda?!" "Apa maukua.?!" Wiro tertawa bergelak. Nilamsuri yang merasa cemas segera mengetengahi dengan berkata, "Wiroa. Dia adalah ayahku!" "Aku tahu adik manisa," dan si pemuda tertawa lagi. Dalam tertawanya itu masih bisa dia mengingat kemesraan dan kebahagiaan hidup yang dirasakannya bersama gadis itu di dangau di tengah sawah tadi malam. "Karena itulah aku berbaik hati datang ke sini hanya untuk meminta tangan kanannya saja!" "Wiro!" muka Nilamsuri menjadi pucat. Bergola Wungu sendiri tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Wiro Sableng bukan omong kosong belaka. Dia telah melihat kehebatan pemuda rambut gondrong ini!
"Kata-kata itu cukup lucu, Kalingundil! Aku senang pada manusia-manusia yang suka bicara lucu!" Wiro Sableng melangkah mendekati Kalingundil. Nilamsuri melompat ke muka hendak menahan si pemuda tapi pada saat itu pula dari samping Bergola Wungu yang sejak lama menahan kegeramannya terhadap Kalingundil, maka ketika melihat anak musuh bebuyutannya itu melompat ke muka, tanpa tunggu lebih lama segera ditebaskan golok panjangnya! Nilamsuri melengking! Tubuhnya tercampak ke tanah. Dadanya robek besar. Darah menyembur! Bergola Wungu yang melihat tidak adanya kesempatan baginya untuk turun tangan terhadap Kalingundil segera lari ke lereng bukit pekuburan dan berseru: "Manusia bernama Wiro Sableng! Antara kita masih ada sedikit urusan! Kalau kau merasa punya nyali untuk meneruskan, aku tunggu di Gua Sanggreng!" "Setan alas betul!" maki Wiro Sableng. Dipukulkannya tangan kanannya ke arah lereng bukit pekuburan. Angin laksana badai menderu dahsyat. Batu-batu nisan Wiro Sableng putar kepala dan dia memaki lagi ketika melihat Kalingundil melarikan diri. "Boleh saja lari Kalingundil! Tapi tinggalkan lenganmu dahulu!" Sekali pemuda itu melompat ke muka maka dia berhasil menyusul Kalingundil. Tiba-tiba Kalingundil berbalik, cabut keris di pinggang dan tusukkan ke perut "Kraak"! Kalingundil meolong. Tangan kanannya sebatas bahu tanggal. Tulangnya copot! Daging dan otot seta urat-urat berserabutan mengerikan sekali! Laki-laki itu "Eeea. tunggu dulu Kalingundil! Kenapa terburu-buru kabur?! Terima dulu angka kenang-kenangan ini!" Habis berkata begitu Wiro Sableng benturkan tapak tangan kanannya ke jidat Kalingundil! Pada kulit jidat laki-laki ini maka terpampanglah lukisan telapak tangan berikut lima jari dengan angka 212 pada baigan tengahnya! Kalingundil seradak seruduk lagi macam babi celeng! Darah berceceran dari luka di tangannya. Wiro Sableng tertawa mengekeh. Diperhatikannya laki-laki itu Wiro Sableng hentikan gelaknya ketika telinganya mendengar suara gerangan Nilamsuri. Cepat didekatinya tubuh gadis itu. Dia berlutut di tanah. Matanya menyipit melihat luka besar di dada si gadis. Nyawa Nilamsuri tak mungkin di tolong lagi. Dibopongnya gadis itu, dibawanya ke tempat teduh dan dibaringkannya. "Wiroa." Nilamsuri membuka kedua matanya yang telah menjadi sayu itu. "Wiroa. peluk akua.," pintanya. Wiro Sabelng merangkul gadis itu. "Cium akua. Wiroa." Si pemuda mencium pipi Nilamsuri. Lalu mengecup bibirnya. Bibir itu kesat dan dingin kini, tidak basah dan hangat seperti malam tadi. Nafas Nilamsuri lambat "Umurku untuk mengenalmu hanya sampai di sini, Wiroa." bisik Nilamsuri. "Aku akan obati lukamu, Nilam. Kau akan sembuha." kata Wiro pula menghibur. Nilamsuri tersenyum. Bersamaan dengan memberkasnya senyum itu di bibirnya maka saat itu pula rohnya lepas meninggalkan tubuh. Pendekar muda dari Gunung Gede hela nafas panjang. Hatinya beku menyaksikan kematian gadis itu. Semalam Nilamsuri masih dirangkulnya, masih dirabanyaa. tapi kini tubuh itu tiada akan memberikan apa-apa lagi kepadanya. Bahkan kehangatanpun tidak karena saat itu tubuh Nilamsuri berangsur menjadi dingin. Disandarkannya tubuh tanpa nyawa itu ke batang pohon dengan hati-hati. Lalu melangkahlah pendekar ini meninggalkan tempat itu. Dan seperti tak pernah terjadi apa-apa, seperti tak satupun yang barusan dialaminya, dari sela bibir pemuda ini terdengarlah suara siulan. Siulan melagukan nyanyi tak menentu. | |
Views: 452 | Added by: irawanucoz | Rating: 5.0/1 |
If the web is useful to you, we accept donations if you please. Donations will be used for the improvement and advancement of this web.
Jika web ini berguna untuk anda, kami menerima donasinya jika anda berkenan. Donasi akan digunakan untuk perbaikan dan kemajuan web.
Welcome
[1]
welcome news
|
About Me
[1]
about me
|
Privacy Policy
[1]
kebijakan tentang privacy policy
|
Disclaimer
[1]
kebijakan disclaimer
|
TOS
[1]
kebijakan tos idbase
|
There may be advertising your product (resource)
There may be advertising your product (resource)
There may be advertising your product (resource)