2:58 PM Wiro Sableng Chapter 1 (8-11) | |
Wiro Sableng Chapter 1 Part CChapter 1 Empat Berewok Dari Goa SanggrengDELAPAN
Tetapi Eyang Sinto bukan menyerangnya. Nenek-nenek sakti ini ternyata hanya melompat ke atas pohon jambu klutuk dan duduk di cabang tempat dia duduk sebelumnya. Pitulas taun wus katilar, Wiro duduk menghamparkan diri di bawah sebatang pohon di seberang pohon jambu klutuk. Dilihatnya gurunya menghela nafas dalam beberapa kali. "Dadamu sesak Eyang? Aku bisa tolong urut...." "Diam!" bentak Sinto Gendeng. Wiro menggaruk kepalanya dan diam. "Aku mau bicara sama kau!" kata Sinto Gendeng pula. "Bicara apa Eyang....?" Pemuda ini mulai bicara sungguh-sungguh karena dilihatnya gurunya juga bicara sungguh-sungguh. "Berapa lama kau tinggal di sini bersamaku, Wiro?!" "Murid tidak ingat...." "Gelo betul! Buat apa aku ajar tulis baca dan berhitung sama kau?!" "Mungkin sepuluh tahun, Eyang...." "Goblok! Tujuh belas tahun, tahu?!" Wiro tertawa, "Iyyaa.... tujuh belas tahun Eyang," katanya pula. "Kuharap hari ini kau jangan bicara sinting sama aku, Wiro!" bentak Sinto Gendeng dan matanya masih terus menatap ke timur. "Kau lihat matahari itu?" "Lihat Eyang...." jawab Wiro seraya memandang ke timur. "Matahari itu masih tetap matahari yang dulu juga, masih sama dengan matahari tujuh belas tahun yang silam. Puncak Gunung Gede ini juga masih seperti dulu Wiro Saksana mendengarkan dengan sungguh-sungguh karena tak pernah dilihatnya gurunya bicara seperti itu sebelumnya. Kemudian terdengar kembali suara sang "Ya, Eyang...." "Karena itu kau musti sadar, kudu ingat. Kalau ini hari kau sudah menjadi sakti mandraguna yang tak sembarang orang bisa menandingi kau, tapi hal utama "Sadar, Eyang...." "Ingat?" "Ingat,Eyang...." "Ingat.... ya ingat! Manusia ingat dengan pikirannya, sama otaknya! Tapi aku tak mau kalau kau cuma sekedar mengingat saja karena setiap ada ingat musti Kesunyian menyeling beberapa lamanya. Kesunyian ini dipecahkan oleh suara Eyang Sinto Gendeng kembali. "Hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di sini, Wiro!" "Eyang....," terkejut Wiro Saksana mendengar kata-kata gurunya yang tiada disangkanya itu. "Kau terkejut....? Tak perlu terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu bertemu selalu ada waktu perpisahan. Waktu datang dan waktu pergi! Aku telah selesai Dalam duduknya itu Wiro Saksana jadi tertegun. Jadi rupa-rupanya apa yang dinyanyikan oleh Eyang Sinto Gendeng tadi ada hubungannya dengan peri kehidupannya. "Segala apa yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian, Wiro! Dua bagian yang berlainan satu sama lain tapi yang menjadi pasangan-pasangannya...." Wiro Saksana kerenyitkan kening tak mengerti. "Misalnya Eyang?" tanyanya. "Misalnya...., ada laki-laki ada perempuan. Bukankah itu dua bagian yang berlainan? Tapi merupakan pasangan?!" "Betul Eyang...." "Misal lain.... ada langit.... ada bumi. Ada lautan ada daratan. Ada api ada air.... ada panas ada dingin. Ada hidup ada mati, ada miskin ada kaya. Ada "Tidak tahu Eyang...." "Goblok!" "Aku tahu Eyang...." "Siapa?" "Ibu sama bapakku." "Siapa yang mencipatakan ibu sama bapak kau?" "Nenek sama kakek...." "Yang menciptakan nenek sama kakek....?" "Nenek dari nenek dan kakek dari kakek...." "Dan yang menciptakan nenek dari nenek serta kakek dari kakek....?" "Ya nenek dari nenek dari nenek dan kakek...." "Geblek!" bentak Sinto Gendeng. "Manusia tidak pernah bisa menciptakan manusia! Bapak kau kawin sama ibu kau dan ibu kau cuma melahirkan kau, lain tidak!! "Dua, Eyang." "Hidung?" "Satu Eyang." "Lobang hidung?" "Dua Eyang...." "Mulut?" "Satu...." "Bibir?" "Dua Eyang." "Kepala?" "Satu...." "Tangan?" "Dua...." "Kaki....?" "Juga dua Eyang...." "Kau punya biji kemaluan....?" "Dua Eyang," dan dalam hatinya Wiro memaki tapi geli. "Kau punya batang kemaluan?" "Satu Eyang...." Wiro geli lagi dan memaki lagi. "Nah.... itu semua membuktikan di dunia ini kehidupan manusia adalah tak ubahnya seperti bilangan dua dan satu, satu dan dua, dua satu dua dan seterusnya. "Tapi manusia yang picak, Eyang, matanya cuma satu, manusia yang buntung kakinya sebelah, berarti cuma punya satu kaki. Jadi dia tidak memiliki angka dua "Betul, meski begitu berarti dia cuma punya satu mata, punya satu kaki! Nah, bukankah ada juga melekat angka satu pada dirinya?! Aku sudah bilang sama kau Wiro diam, kata-kata gurunya itu memang betul. "Sekarang berdirilah kau!," perintah Eyang Sinto Gendeng. Wiro Saksana berdiri. Eyang Sinto Gendeng menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba dari balik pakaian hitamnya dikeluarkannya kembali kapak saktinya. SEMBILAN
"Kenapa kau terkejut....?" tanya Eyang Sinto Gendeng. "Kau takut?!" "Eyang mau bikin cilaka murid lagi?!" tanya Wiro Saksana bersiap-siap. Dan nenek itu tertawa lagi melengking-lengking. Dia mundur sampai tujuh tombak ke "Pejamkan matamu, Wiro!" perintah Eyang Sinto Gendeng pula. "Tapi.... Eyang mau bikin apa?!" "Eeee.... kunyuk betul kau! Aku suruh pejamkan mata malah banyak tanya!! Pejamkan matamu!" Wiro memejamkan matanya dengan ragu-ragu. Karena itu kedua mata itu dipejamkannya tidak rapat betul. "Biar rapat!" hardik Sinto Gendeng. Dan Wiro terpaksa menutup matanya rapat-rapat. "Buka bajumu!" Wiro membuka bajunya dan meletakkannya di tanah. Kedua matanya tetap memejam. "Buka tangan kananmu, naikkan ke atas dan hadapkan telapaknya kepadaku!", perintah Sinto Gendeng lagi. Wiro mengikuti perintah itu. Eyang Sinto Gendeng "Apapun yang terjadi sekali-kali jangan buka kedua matamu dan sekali-kali jangan bergeser. Kecuali kalau kau mau mampus!" "Eyang...." "Diam! Gila betul!," bentak Sinto Gendeng. Wiro terpaksa membungkam. Perempuan tua itu menekan alat rahasia dekat kepala kapak. Maka dari mulut naganagaan Ketiga puluh enam jarum itu mendarat dan menancap di dada kanan Wiro Saksana. Jarum-jarum ini menancap dengan teratur membentuk susunan angka 212. Pemuda Sebelum Wiro Saksana siuman, Eyang Sinto Gendeng sudah mencabuti jarum-jarum putih di dada pemuda itu, juga jarum-jarum hitam di telapak tangan kanan Wiro. "Berdiri Wiro!" perintah sang guru. Wiro Saksana berdiri. Dia tak tahu apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh gurunya. Yang dia tahu tadi ialah suara yang menderu-deru, lalu dia menjerit, "Kau telah lihat angka 212 pada kulit dada dan telapak tangan kananmu?" Wiro mengangguk. "Berarti dalam dirimu sudah kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur ingat Tuhan. Agar kau tidak lupa bahwa kau hidup di dunia adalah untuk menolong sesama "Mengerti Eyang. Tapi... mengapa badanku kini tiga kali lebih enteng dari sebelumnya? Bahkan tenaga juga terasa bertambah hebat!" Eyang Sinto Gendeng tertawa "Itu adalah berkat jarum kapak Naga Geni 212" kata Sinto Gendeng pula. Lalu nenek-nenek ini menerangkan apa yang telah dilakukannya terhadap muridnya. Wiro "Tak usah pakai peradatan segala macam. Berdirilah! Masih banyak yang aku mau bicarakan sama kau," kata Sinto Gendeng pula. Wiro berdiri. Sinto Gendeng mengeluarkan kapak dan batu hitam kembali. Diulurkannya benda-benda itu. "Wiro.... kapak ini kuberi nama Kapak Naga Geni 212. Sepuluh tahun Tertegun dan hampir tak percaya Wiro Saksana mendengar ucapan gurunya. Tak disangkanya bahwa dia bakal mendapat anugerah senjata yang sangat sakti itu. "Ayo Wiro! Kenapa kau jadi bimbang? Terimalah Kapak Naga Geni 212 ini untuk kau!" Wiro Saksana mengulurkan kedua tangannya. Ketika senjata sakti itu menyentuh tangannya mendadak sontak mengalirlah arus aneh yang dingin ke dalam tubuh "Sisipkan di pinggangmu Wiro dan pakai kau punya baju kembali!" Wiro melakukan apa yang dikatakan Eyang Sinto Gendeng. Kapak dan batu yang ada angka 212-nya itu disisipkan ke pinggangnya. "Kapak Naga Geni 212 bukan senjata sembarangan, Wiro. Karenanya juga tak boleh kau pakai sembarangan. Pergunakanlah hanya pada saat-saat kau terdesak hebat Wiro Saksana hendak berlutut lagi, tapi segera dibentak oleh gurunya. "Terima kasih Eyang.... terima kasih," kata pemuda itu. Eyang Sinto Gendeng hanya keluarkan suara tertawa. Digaruk-garuknya kepalanya yang berambut jarang dan yang kini hanya ditancapi dua buah tusuk kundai. Ketika Sinto Gendeng selesai menyanyikan lagu itu maka bertanyalah Wiro. "Eyang, apakah maksud Eyang dengan nyanyian itu....?" Sinto Gendeng tertawa. Aneh sekali tawanya kali ini. Dan parasnya kelihatan begitu sedih serta rawan. Kemudian ketika dia berkata, jelas suaranya itu bergetar "Aku sudah bilang bahwa hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di Gunung Gede ini bersamaku...." "Mengapa demikian, Eyang....?" Wiro garuk-garuk kepalanya. "Karena segala ilmuku telah kupasrahkan kepadamu. Karena hari inilah saatnya bagimu untuk turun gunung, memasuki alam dunia luar, membawa garis-garis kehidupanmu Sinto Gendeng diam seketika. Kemudian diteruskannya, "Sebelum kau meninggalkan puncak Gunung Gede ini ada satu tugas yang musti kau lakukan...." "Tugas apakah itu, Eyang?" tanya Wiro Saksana. Lagi-lagi digaruknya kepalanya yang berambut gondrong itu. "Dengar baik-baik Wiro.... Lebih dari empat puluh tahun yang silam aku telah mengambil seorang murid bernama Suranyali. Waktu itu dia baru saja berumur Wiro Saksana merasa betapa sedihnya akan berpisah dengan gurunya yang selama 17 tahun telah mendidiknya itu. Tapi mengingat perpisahan itu adalah demi untuk "Jawabnya hanya satu Wiro. Pateni manusia itu! Bunuh manusia durhaka itu!" Wiro Saksana terdiam. Dalam diamnya ini dia berpikir-pikir sampai dimanakah ketinggian "Aku tahu apa yang kau pikirkan Wiro," kata Eyang Sinto Gendeng pula tiba-tiba. Ini mengejutkan Wiro Saksana. "Suranyali memang sakti bahkan kudengar dia Mendadak sontak bergetarlah sekujur tubuh Wiro Saksana. Parasnya berubah kelam membesi! Sejak kecil, sejak diam di puncak Gunung Gede itu belum pernah dia "Bapakmu bernama Ranaweleng! Dibunuh oleh Suranyali. Ibumu dilarikannya. Sesudah itu bunuh diri sesudah dirusak kehormatannya. Kau sendiri hampir menemui "Berdiri!" bentak Sinto Gendeng. Perempuan aneh itu memang paling tidak suka dilututi seperti itu. "Bukan aku yang menolong kau, tapi Gusti Allah!" katanya. Wiro berdiri kembali. Dan Sinto Gendeng menuturkan peristiwa tujuh belas tahun yang lalu sejelas-jelasnya. Kini maklumlah Wiro apa arti kata-kata dalam "Eyang....," desis Wiro Saksana, "Sewaktu Eyang turun ke kampung Jatiwalu itu, mengapa Eyang tidak langsung turun tangan....?" Sinto Gendeng tertawa rawan. "Semustinya.... semustinya memang aku harus turun tangan saat itu. Tapi ketika kutahu bahwa Ranaweleng u bapakmu u mempunyai "Menurut Eyang, apakah manusia keparat itu masih ada di kampung Jatiwalu bersama anak-anak buahnya....?" "Tak dapat kupastikan, Wiro. Itu tugasmu untuk menyelidik. Yang aku tahu ialah bahwa manusia itu hendak membuat Pajajran banjir darah. Karenanya, seret Sunyi selang beberapa lamanya. Kedua orang itu tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. "Ucapanku yang terakhir Wiro, mulai saat kau turun gunung ini, pakailah nama WIRO SABLENG. Itu lebih baik bagi kau. Gurunya GENDENG, muridnya SABLENG." "Eyang.... kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Wiro. Sang guru hentikan tertawanya. "Selama langit masih biru, selama hutan masih hijau, selama air sungai masih mengalir ke laut, kita pasti bertemu lagi Wiro "Makan nak....?" tegurnya. Wiro mengangguk. "Tapi jangan mahal-mahal, aku tak punya banyak uang!" kata Wiro Sableng terus terang. Pemilik warung itu kerutkan kening. Selama dia membuka "Kau tentu seorang pendatang....", katanya. "Betul," Wiro menggaruk-garuk rambutnya. "Tolong lekas nasinya, pak, perutku sudah lapar betul....!" Orang kedai itu segera mengambilkan sepiring nasi dan segelas air lalu diletakkannya di atas meja di hadapan Wiro. Titik air liur pemuda ini. Selama tujuh Keempat orang itu makan dengan angkat kaki. Suara celepak-celapak mulut mereka terdengar sampai ke tempat Wiro Sableng duduk. Tapi tentu saja pemuda ini "Berapa aku musti bayar?" tanya Wiro. Orang kedai itu menyebutkan jumlah uang yang musti dibayar Wiro. "Waduh... mahal sekali!" keluh Wiro. "Tadi aku sudah bilang jangan mahal-mahal..." "Itu juga sudah sangat murah, Nak," kata orang kedai. Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Habis uangku buat bayar makanan itu." "Kalau tidak gablek uang, jangan masuk kedai, Bung!" Yang seorang lagi menyambungi, "Dari pada takut-takut keluar uang, sebaiknya cari saja makanan di tong sampah!" Keempat orang itu tertawa gelak-gelak. Wiro memandang kepada mereka. Diejek demikian rupa pemuda ini tenang-tenang saja malahan sunggingkan senyum dan garuk-garuk kepala. Laki-laki yang berkumis "Mau saja kalau diberi," jawab Wiro sejujurnya. Digaruknya lagi kepalanya. "Merangkaklah dihadapanku, menyalak tiga kali dan tuanmu ini pasti akan kasih uang kepadamu" Atap kedai itu seperti mau runtuh oleh suara tertawa keempat Wiro memandang berkeliling. Ketika dilihatnya beberapa sisir pisang ambon yang berjejer digantung di atas meja tempat meletakkan ikan dan gulai maka tertawalah "Aku beli pisangmu, pak," kata Wiro. Diturunkannya sesisir sambil melangkah ke pintu dipotesnya sekaligus empat buah pisang. Dia melangkah juga ke pintu sementara di belakangnya masih terdengar "Bikin mampus saja sama kawan-kawan!" teriak salah seorang pengejar. "Berani kurang ajar sama kita orang! Cincang sampai lumat!," kata yang berbadan paling tinggi. Wiro Sableng terus juga melangkah enak-enak. Cuma sekali-kali tangan kanannya dilambaikannya ke belakang untuk melemparkan kulit-kulit pisang yang dimakannya. Keempat orang itu berteriak-teriak, memaki dan menggeram, menggapai-gapaikan tangan ke muka karena merasa hampir-hampir dapat menagkap punggung baju Wiro Mengapa sampai terjadi hal yang demikian, lain tidak karena Wiro Sableng telah mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang bernama: dinding angin berhembus tindih Dengan sangat geram, sambil lari dicabutnya sebilah belati dari pinggangnya dan dilemparkannya ke arah punggung Wiro Sableng. Tapi anehnya pisau itu melesat "Kalau bangsat itu bukannya manusia siluman pastilah dia iblis bermuka manusia!" SEBELAS
Dulunya, Bergola Wungu adalah turunan orang baik-baik yang ayahnya mati ditangan Kalingundil, kepala rampok yang malang melintang dan bersarang di kampung Dan ketika dirasakannya saat untuk melakukan pembalasan sudah tiba maka bersama ketiga orang anak buahnya berangkatlah dia menuju Jatiwalu. Tapi sewaktu "Kurasa manusia itu mungkin salah seorang anak buah Kalingundila.", kata Ketut Ireng, laki-laki yang duduk di hadapan Bergola Wungu. Bergola Wungu letakkan gelas bambunya ke meja. Dia berpikir, kalau yang tadi itu benar-benar anak buah Kalingundil, pastilah maksudnya untuk menuntut balas "Tidak mungkina.," desis Bergola Wungu. "Tak mungkin manusia tadi adalah anak buah Kalingundil! Lagi kita belum yakin betul apa dia benar-benar manusia! "Tapi bukan mustahil selama belasan tahun ini jumlah anak buahnya bertambah," menyela laki-laki yang bernama Seta Inging. "Aku tetap tidak mau percayaa.!", kata Bergola Wungu. Dilambaikannya tangannya pada pemilik kedai. "Sini!", bentaknya. Orang tua pemilik kedai datang dengan ketakutan dan terbungkuk-bungkuk. "Berapa orang anak buah Kalingundil semuanya?" "Cuma tiga, Den. Cuma tigaa." "Masih yang dulu-dulu jugaa.?" Orang tua itu mengangguk. "Dan tak satu manusiapun disini yang tahu kemana mereka pergi?!" "Tidak satupun, Dena." "Selain mereka berempat, siapa lagi yang diam di rumah besar itua.?" "Tidak ada, Dena." "Dulu kudengar dia punya binia." "Sudah meninggal, Dena." "Juga seorang anak perempuana. Apa juga sudah meninggal?!" "Tidak." "Kalau begitu dimana perempuan itu sekarang?" "Bapak tidak tahu, Dena." "Dusta!" "Sungguh tidak tahu, Dena." "Bakar saja kedai ini!", ancam Ketut Ireng. Dan orang tua itupun berlutut minta dikasihani. "Jangan dena. sungguh bapak tidak tahu. Jangan dibakar kedai ini dena. Kasihani bapaka. Tapi mungkin dia "Dimana tempat bibinya?" "Tidak tahu, Dena." "Tidak tahu melulu!", bentak Bergola Wungu. "Kalian manusia-manusia yang sudah diinjak-injak kemanusiaannya oleh Kalingundil, yang diperas dan dipreteli harta kekayaannya, yang dibunuh dan disiksa, "Kami semua benci dan mendendam terhadap Kalingundil serta anak buahnya, Den. Tapi kami ini rakyat lemah. Tak ada daya untuk melawan..........." "Kalian bukan lemah tapi bodoh dan pengecut!" bentak Ketut Ireng. Lalu sambungnya, "jika beberapa hari dimuka ini kami masih belum juga menemui Kalingundil "Oh jangan, Dena. Jangan, Den. Sekurang-kurangnya Raden musti ingat bahwa kampung ini dulunya adalah kampung raden jugaa." "Dulu!" kata Bergola Wungu, "tapi sesudah bapakku dibunuh dan keluargaku ditumpas, kampung ini bukan kampungku lagi! Orang-orang di kampung ini berdiam "Mereka bukannya takut, den, bukan tak mau menolong, tapi tak punya daya. Kalingundil dan anak buahnya berilmu tinggia." "Diam!", bentak Bergola Wungu. Orang tua pemilik kedai itu diam membungkam. Ketut Ireng ambil bagian kini, "Kau tahu siapa itu manusia rambut gondrong yang tadi makan di sini?!" "Tidak tahu, Den. Sungguh tidak tahu......." "Sudah pergi sana!" bentak Bergola Wungu. Orang tua itu berlalu dengan cepat. Tak lama kemudian Bergola Wungu dan ketiga anak buahnya meninggalkan kedai tanpa membayar satu peser tengikpun atas | |
Views: 503 | Added by: irawanucoz | Rating: 5.0/1 |
If the web is useful to you, we accept donations if you please. Donations will be used for the improvement and advancement of this web.
Jika web ini berguna untuk anda, kami menerima donasinya jika anda berkenan. Donasi akan digunakan untuk perbaikan dan kemajuan web.
Welcome
[1]
welcome news
|
About Me
[1]
about me
|
Privacy Policy
[1]
kebijakan tentang privacy policy
|
Disclaimer
[1]
kebijakan disclaimer
|
TOS
[1]
kebijakan tos idbase
|
There may be advertising your product (resource)
There may be advertising your product (resource)
There may be advertising your product (resource)